Si manis dari rawa-rawa
SWASEMBADA, beras atau swasembada gula?
Inilah pilihan sulit buat negeri ini. Mempertahankan swasembada beras, dengan memperluas areal tanam padi, bisa berakibat menciutnya lahan tanam tebu. Sebaliknya, memperluas areal tebu bisa-bisa menggoyahkan swasembada beras. Kenyataannya, kini tebu semakin terdesak oleh adi. Dengan areal tanam tebu yang tinggal 340 ribu hektar, Indonesia tahun ini merencanakan mengimpor 300 ribu ton gula untuk menutupi kebutuhan dalam negeri.
Kabarnya, jumlah ini akan meningkat tahun-tahun mendatang. Tapi dua pekan lalu, dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur, ada terobosan baru untuk mengatasi meningkatnya: angka impor gula Indonesia itu.Yaitu, ditemukannya kadar gula yang cukup tinggi dalam tanaman liar nipah (Nypa frrticans).
Rendemen gula dalam nipah itu 10-15%. Lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen gula dalam tebu, yang besarnya 8- 10% . Penelitian terhadap tanaman berbatang pendek, berumpun, dan bersulur rendah dekat tanah ini dilakukan tim P3GI sejak 1986. Tim yang dipimpin Dr. Tr. Boedijono Wirioatmodjo, salah satu direktur muda P3GI, meneliti tanaman nipah di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sebenarnya, nipah sudah diteliti sejak jaman kolonial Belanda.
"Tapi mungkin karena terletak di pedalaman, dan penduduk tak ada di sana, penelitian itu tak dilanjutkan," ujar Boedijono.
Tanaman dari rumpun palma ini serumpun dengan kelapa, siwalan, atau enau - memang tumbuh subur di muara sungai di sepanjang pantai Kal-Bar, KalTeng, Kal-Sel, sampai Kal-Tim. Nipah juga terdapat di sepanjang pantai Sumatera dari Lampung sampai Aceh--Maluku, dan pantai Selatan Irian Jaya.
Nipah tumbuh di daerah tropis beriklim pantai. Umumnya, tanaman rawa ini dijumpai di daerah pasang surut dengan ketinggian 0-10 meter dari permukaan laut. Populasinya di seluruh Indonesia diperkirakan 7 juta hektar. Di Kal-Bar, populasi nipah bisa mencapai 8-10 ribu pohon per hektar. Pohon yang berusia 5 tahun sudah mulai bisa disadap, sampai usianya mencapai 50 tahun. Penyadapan (penderesan) nipah biasanya dilakukan di musim kemarau, saat pantai surut.
Cara menyadapnya sederhana, dengan memotong sulurnya. Setelah sulur dipotong, makanan dalam saluran makanan tak lagi bisa menghasilkan buah, tapi nira. Nira nipah segar inilah yang berkadar gula (sukrose) 10--15%, kandungan bahan organik (brix) 15-17%, kadar gula reduksi 0,2--0,5%, dan kadar abu 0,3-0,7%. Dari setiap pohon, dari setiap malai (sulur), bisa dihasilkan seliter nira.
Dengan perawatan, misalnya penjarangan pohon, satu malai bisa menghasilkan sampai 1,5 liter. Satu hektar hamparan nipah menghasilkan 72 ribu liter nira tiap enam bulan. Artinya akan didapat sekitar 140 ribu liter nira per tahun per hektar.
Dengan pengolahan tradisional - pemanasan di atas wajan dengan suhu 100 oC akan didapat gula merah. Dari 72 ribu liter nira nipah, akan didapat sekitar 10,8 ton gula merah. Dengan proses solfitasi (proses kimiawi berupa penambahan belerang), gula merah ini dapat dijadikan gula putih (gula pasir). Melalui solfitasi, 10,8 ton gula merah tadi akan menjadi sekitar 6,18 ton gula pasir.
Nira nipah itu bisa juga langsung diproses menjadi gula putih. Yaitu, melalui proses penyaringan, pengentalan, dan pemutihan seperti halnya proses tebu menjadi gula. Rendemen gula yang didapat dengan proses semacam ini adalah 10%. Atau 7,2 ton gula pasir dari 72 ribu liter nira nipah per hektar per musim panen, atau dalam nilai rupiahnya, menghasilkan Rp 2-3 juta.
Itu sebabnya, Boedijono antusias menyarankan pengelolaan nipah ini dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR). "Saya pastikan, bisa menaikkan taraf hidup petani," kata insinyur pertanian lulusan IPB 1962 ini. Sampai sekarang baru PT Milatronika Karya Jakarta yang tertarik menanamkan modalnya membangun pabrik gula nipah di Ketapang, Kalimantan Barat. Tahun depan pabrik gula nipah pertama di Indonesia itu akan mulai berproduksi. Untuk mendukung produksinya, Milatronika mendapat hak mengelola 10 ribu hektar tanaman nipah.
Pabrik gula nipah ternyata jauh lebih murah dibandingkan pabrik gula tebu. Untuk membangun pabrik gula dengan kapasitas 4 6 ton tebu per hari, dibutuhkan Rp 140 milyar, termasuk biaya tanah dan eksploitasi. Sedangkan untuk nipah, bisa dihemat sekitar 60% dari modal. Sebab, biaya perawatan nipah yang tumbuh di hutan itu lebih murah 75% dibandingkan tebu.
Yang sangat menghemat, pabrik gula nipah tak perlu alat giling. Padahal, pembelian alat giling di pabrik tebu bisa mencapai 35% dari seluruh investasi. Agaknya, dengan berbazai hal yang menggiurkan itu, akan banyak investor mendirikan pabrik gula nira ini. Apalagi kalau pabrik gula di Ketapang sudah mulai berproduksi.
Di saat Indonesia mengimpor gula, terobosan P3GI ini tentu saja menggembirakan. "Dengan bahan pemanis nira nipah itu, kita bisa menuju swasembada gula," ujar Boedijono Wiroatmodjo optimistis. Dalam perkembangannya, ternyata nipah tak cuma potensial menghasilkan gula. Di Papua Niugini, nipah dikembangkan sebagai penghasil alkohol.
Di Brasil, nipah diteliti sebagai bahan-bahan bakar berupa gasohol. Sementara itu, di PG Madukismo Yogyakarta, sudah diteliti bahwa bensin premium dicampur 20% alkohol menghasilkan bahan bakar dengan angka pembakaran yang lebih tinggi dari bensin super. Kalau nipah bisa diproses jadi alkohol, bukankah akan lebih banyak devisa dihemat? Toriq Hadad dan M. Baharun (Biro Surabaya)
Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/12/ILT/mbm.19890812.ILT23314.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar