.... Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H...... Mohon maaf lahir dan batin....

Senin, 23 April 2012

Potensi BBM Nabati Masa Depan dari Nipah

Bibit Bensin di Sepanjang Pesisir

BIO ETANOL NIPAH: Peneliti Balitbang Bengkalis, Sopyan Hadi memproduksi bio etanol dari nira nipah yang banyak terhampar di sepanjang pesisir Riau (Muhammad Amin/Riau Pos)


Potensi BBM Nabati Masa Depan dari Nipah,Bibit Bensin di Sepanjang Pesisir


Laporan MUHAMMAD AMIN, Lubuk Muda

Krisis bahan bakar minyak (BBM) terutama dari fosil telah di depan mata. Tapi tak banyak yang bergerak untuk mengantisipasinya.

Di antara yang sedikit itu, seorang peneliti Bengkalis, Sopyan Hadi berkreasi dengan menghasilkan bahan bakar bio etanol berbahan baku nipah. Seperti apa?

Pepohonan nipah itu berjejer di sepanjang ruas pantai pesisir Desa Lubuk Muda, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, Riau. Akarnya yang kokoh mencengkram kuat ke tanah.

Daunnya melambai ditiup angin, menjadi pemandangan indah sepanjang hari. Sebagian besar nipah itu terbiar begitu saja di sepanjang Sungai Siput, muara Sungai Siak Kecil hingga garis pantai. Tak kurang seluas 100 hektare nipah hidup di sepanjang pesisir timur Riau itu.

Dalam tradisi masyarakat lokal, termasuk di Lubuk Muda, nipah (nypa fruticans) digunakan sebagai bahan baku bernilai ekonomis yang terbatas. Daunnya dapat digunakan untuk bahan membuat rokok tradisional hingga atap rumah seperti atap rumbia.

Sementara niranya kerap dipakai untuk membuat air nira yang manis, asam hingga semacam madu yang kental. Nipah juga punya nilai konservasi yang tinggi karena mampu menjaga abrasi pantai.

Sebagai salah satu jenis mangrove, nipah dikenal sebagai penjaga pantai yang handal. Di Indonesia, terdapat potensi nipah yang luar biasa. Sedikitnya ada 1,35 juta hektare nipah dari luas mangrove di Indonesia yang saat ini mencapai 4,5 juta hektare.

Artinya, nyaris sepertiga mangrove Indonesia terdiri dari nipah. Potensi yang sangat besar jika dimanfaatkan secara maksimal.

Peneliti dari Balitbang Bengkalis, Sopyan Hadi menemukan potensi nipah yang jauh lebih komplit. Di Desa Lubuk Muda, tempatnya berasal, kini dia telah membuat peralatan teknologi tepat guna bio etanol berbahan baku nipah.

Tak hanya satu, melainkan dua. Satu produksinya sendiri, satu lagi bantuan dari pemerintah. Mini plan bantuan pemerintah pusat lebih banyak digunakan untuk penelitian, sebagai alat untuk prototipe, yang dapat memproduksi bio etanol kadar rendah. Kapasitasnya 200 liter perhari.

Kendati lebih komplit dan besar, mini plan ini belum bisa menghasilkan bahan bakar untuk substitusi BBM sekelas premium atau pertamax. Sedangkan alat teknologi tepat guna karya Sopyan sendiri memiliki kemampuan lebih baik.

Peralatan ini sudah dapat menghasilkan bio etanol sekelas premium, bahkan pertamax plus.

Ada tiga unit peralatan untuk destilasi dan dua unit untuk pemurni atau dehidrasi. Peralatan sederhana, dengan skala dan modal kecil ini, produksinya dapat lebih banyak, yakni hingga 400 liter bio etanol perhari.

Sopyan Hadi menyebutkan, penelitiannya tentang nipah sudah dilakukan sejak tahun 2008 lalu. Ketika itu, dia masih menjadi peneliti di Rokanhilir. Dia membuat semacam laboratorium kecil di belakang rumahnya untuk mengembangkan produk nipah ini. Hasilnya fantastis.

Kini, bibit-bibit bensin dari nipah yang terbiar di sepanjang pesisir pantai itu telah benar-benar menjadi bahan bakar yang efektif. Ada beberapa tahapan dan hasil yang dicapai dalam proses panjang penelitiannya ini.

Tahapan pengolahan awalnya dapat difungsikan sebagai minyak tanah atau gas untuk memasak. Tahapan berikutnya, dengan nira nipah yang sama, dihasilkan bahan setara dengan premium. Tingkatan tertingginya setara dengan pertamax plus dengan oktan 95.

‘’Bahkan bisa dikatakan lebih baik dari pertamax plus,’’ ujar Sopyan Hadi kepada Riau Pos, Rabu (28/2) lalu.

Sopyan Hadi menyebutkan, nira yang dihasilkan nipah mengandung kadar gula yang tinggi.

Di dalamnya juga ada susunan sukrosa. Hasil fermentasi dari bahan tersebut dengan menggunakan mikrobiologi adalah faktor yang baik untuk menghasilkan bio etanol atau bahan bakar dari nabati. Sebenarnya tak hanya nipah yang dapat dikembangkan sebagai bio etanol.

Setiap tumbuhan yang mengandung unsur gula dan pati, memiliki potensi yang baik untuk dijadikan bio etanol. Jagung, singkong (ubi kayu), sorgum, dan tebu adalah sejumlah bahan baku bio etanol yang terbukti dapat dimanfaatkan.

Seperti bahan baku lainnya, setiap bahan baku ini memiliki nilai plus dan minus.

‘’Tapi nipah termasuk yang paling tinggi plusnya dibanding minusnya dari pada bahan baku lainnya,’’ ujar Sopyan.

Salah satu keunggulan nipah adalah bahan baku ini bukan berasal dari komoditi tanaman pangan pokok.

Beberapa bahan baku bio etanol seperti tebu, jagung dan singkong adalah bahan makanan pokok yang ke depan akan mengganggu ketahanan pangan dan menimbulkan krisis pangan. Menggunakannya dalam jumlah besar untuk produksi energi tentu saja dapat membuat rawan pangan.

Tapi tidak dengan nipah, yang bukan merupakan makanan pokok. Mengambil niranya juga tidak akan merusak pohonnya sama sekali. Konsep ini pula yang mengantarkan Sopyan Hadi meraih penghargaan World Biofuel Award 2010 di Belanda.

Sebab, peneliti dari belahan dunia lain, seperti Amerika dan Brasil, ternyata menggunakan bahan baku dari tebu atau jagung. Beberapa peneliti Indonesia menggunakan singkong dan sorgum.

Peraih Setia Lestari Bumi 2009, dan Kehati Award Bidang Lingkungan 2009 karena kepeduliannya melestarikan penyu dan nipah ini mengungkapkan bahwa nipah juga tak memerlukan biaya ekonomis tinggi.

Mangrove yang setia menjaga garis pantai dari abrasi ini dapat tumbuh dengan baik di sepanjang pantai. Tidak perlu perawatan khusus. Nipah bisa dikembangbiakkan dan tumbuh dengan mudah.

Mengambil niranya juga tidak dengan menebangnya. Nira nipah diambil sama dengan mengambil nira enau atau sejenisnya.

‘’Jadi tanamannya tetap terjaga dan hidup dengan baik. Sama sekali tidak merusak lingkungan atau menyebabkan pantai kehilangan mangrove-nya saat nipah kita manfaatkan,’’ ujar Sopyan Hadi.

Berawal dari laboratorium kecil di belakang rumahnya, Sopyan Hadi kemudian bergerak memenuhi obsesinya. Awalnya dia melakukan uji coba sendiri dan mendapatkan bio etanol dari nira berkadar rendah.

Saat diuji coba pada api, ternyata hidup. Dari serangkaian uji coba itu, kemudian dia berlanjut hingga akhirnya mendirikan peralatan teknologi tepat guna. Tapi tentu semua tak berjalan mudah.

Awalnya, Sopyan bahkan sempat disebut gila karena rangkaian uji cobanya ini. Tapi dia tak putus asa, bahkan mengajak dua hingga tiga orang warga untuk turut serta dalam program ini.

Awalnya banyak pemuda tempatan yang enggan, karena hasil yang tak jelas. Namun ketika hasil uji coba ini bisa menghidupkan kompor, mulai ada yang tertarik.

Sekarang peneliti yang hampir menyelesaikan S3 tersebut untuk tahap pertama, sedang mempersiapkan bio etanol nipah berkualitas fuel grade untuk dijadikan substitusi menjadi bio premium nipah beroktan setara pertamax plus yaitu 95.

Ini akan disosialisasikan ke pengguna yang mau menguji ke kendaraannya. Bupati Bengkalis, Ir Herliyan Saleh MSc pun mendukung rencana ini. Tahap kedua, pihaknya akan mensosialisasikan bio etanol nipah setara minyak tanah atau bio kerosin pada kompor bio etanol yang apinya hampir setara kompor gas.

Upaya ini merupakan langkah konkret Kabupaten Bengkalis untuk mengurangi secara bertahap terhadap ketergantungan bahan bakar fosil.

‘’Produksi sementara saat ini untuk satu hari bisa mencapai satu jerigen bio etanol kadar FGE untuk satu orang. Tapi jumlah ini fluktuatif, tergantung nira yang didapat,’’ ujar Sopyan.

Sedikitnya sekarang Sopyan dibantu 12 pemuda tempatan untuk mencari nira nipah. Sopyan membeli nira nipah itu seharga Rp1500 perliter. Sedangkan yang membantunya di peralatan teknologi tepat guna miliknya hanya dua orang. Diperlukan keahlian khusus, baik pencari nira maupun pengolahnya.

Mendapatkan nira nipah yang kemudian menghasilkan bio etanol, ternyata gampang-gampang susah. Nipah tak bisa ditoreh begitu saja tanpa ada keterampilan yang baik.

Setelah sebuah tandan nipah dipotong, maka harus ada perawatan, minimal secara tradisional. Tandan nipah harus diiris bawang (diiris tipis) agar tak melukainya secara keseluruhan.

Untuk mengeluarkan niranya, nipah diberi sentuhan yang baik. Dulu, secara tradisional bahkan dinyanyikan sambil berayun-ayun. Kadang sedikit dipukul lebam agar niranya mengalir lancar.

‘’Kalau sekarang sudah pakai teknologi vakum. Namun demikian, pohon nipahnya harus diperlakukan dengan baik agar niranya keluar lancar,’’ ujar Sopyan.

Nira yang didapat dari tandan itu kemudian dikumpulkan. Biasanya, rendemennya 10-12 persen dari bahan baku. Artinya dari 10-12 liter nira, setelah diolah akan menjadi 1 liter bio etanol murni.

Dalam sehari, seorang bisa mendapatkan satu jerigen atau sekitar 30 liter nira. Tapi itu belum maksimal, karena masih bisa ditargetkan 1 orang menghasilkan 100 tandan nira atau 100 liter perhari. Satu tandan nipah biasanya bisa menghasilkan satu liter nira, bahkan lebih.

‘’Jadi kalau sudah bisa menghasilkan 100 liter nira, target kita per orang bisa menghasilkan 10 liter bio etanol perhari,’’ ujar Sopyan.

Proses Pembuatan
Pembuatan bio etanol ini menggunakan proses mikro biologi, dengan mendiamkan bahan baku nira di wadah tertutup selama dua hingga tiga hari dengan campuran bahan kimia tertentu.

Bahan yang sudah difermentasi ini kemudian dipisahkan dari air dengan proses destilasi. Pada suhu 78 derajat Celcius, bahan ini mulai menguap dan uapnya itu kemudian dipanen menjadi bio etanol.

Bahan yang dihasilkan ini baru menghasilkan bio etanol 60-80 persen. Kandungan airnya masih ada sehingga belum menjadi bio etanol murni. Namun demikian, bio etanol 60-80 persen ini sudah bisa dipakai untuk keperluan memasak. Bio etanol 60-80 persen ini setara minyak tanah atau elpiji.

Dalam beberapa kali percobaan dan demonya, Sopyan Hadi membuat bio etanol ini untuk menghidupkan kompor gas. Bahan bakarnya disalurkan dari tabung infus ke kompor gas, yang bisa dihidup-padam-redupkan dengan mengontrol aliran infus di selangnya.

Bahannya yang tak mudah tersulut api memungkinkannya diletakkan di tabung infus yang terbuat dari plastik.

Namun demikian api yang dihasilkan tetap dapat digunakan untuk memasak, kendati kadang masih ada desisan air di antara bakaran api kompor. ‘’Memang masih ada airnya dan perlu diproses lagi,’’ ujarnya.

Dari segi kualitas api, bio etanol 60-80 persen ini berkualitas sama dengan minyak tanah, gas elpiji, bahkan solar. Dalam beberapa kali uji coba, bio etanol 60-80 persen ini dapat dipakai untuk menghidupkan genset berbahan bakar solar atau premium.

Hanya, untuk jangka waktu panjang, diperlukan modifikasi pada karburator genset yang tahan air. Sebab, bio etanol 60-80 persen ini masih mengandung air. Dalam jangka panjang, genset bisa berkarat jika tak dimodifikasi.

Untuk mengolahnya setara premium, bio etanol kadar rendah atau 60-80 persen ini harus dimasukkan ke alat dehidrasi. Tujuannya untuk menyerap air, dan memurnikan kandungan air dari bio etanol tersebut.

Sejauh ini, Sopyan sudah memproduksi alat dehidrasi ini dengan teknologi tepat guna. Dengan filter yang ada, air yang masih tersisa sudah dapat dijadikan nol atau tidak ada sama sekali.

‘’Jadi sudah setara dengan premium. Bahkan untuk tingkatan tertentu setara dengan pertamax plus,’’ ujar Sopyan.

Kualitas bio etanol murni ini bahkan lebih baik dari pada premium. Pembakarannya dinilai sangat baik. Dalam praktiknya, untuk menjadi bahan bakar kendaraan, biasanya perlu campuran 80 persen premium dengan 20 persen bio etanol murni dari nipah ini.

Sebenarnya, sebut Sopyan, bisa saja 100 persen digunakan bio etanol untuk kendaraan tertentu.

‘’Untuk penggunaannya memang masih terbatas mobil keluaran Amerika seperti jenis Ford Fiesta yang bisa menggunakan E20 yaitu 20 persen bahan bakarnya dari bie otanol. Merek-merek Jepang sepertinya belum bisa,’’ ujar Sopyan.

Sopyan sendiri kerap menggunakan bio etanol berbahan baku nipah ini untuk mobilnya. Sejauh ini, tidak ada masalah. Bahkan emisi gas buangnya jauh lebih ramah lingkungan, karena memang berasal dari tumbuhan, bukan fosil seperti halnya premium atau pertamax.

Soal harga jual, hingga saat ini belum bisa diputuskannya. Sebab, diperlukan tata niaga dan perizinan yang rumit. Belum lagi masalah administrasi yang harus dari pemerintah pusat.

Akan tetapi dari rancangannya, sesuai biaya produksi, didapatkan angka Rp7.500 hingga Rp8.000 untuk bio etanol setara minyak tanah dan Rp8.000 untuk bio premium etanol nipah setara oktan pertamax plus.

Tapi itu pun jika memang bisa dijual di SPBU. Ini beda jika dijual di kalangan sekitar, yang tak memerlukan tata niaga minyak yang khusus.

‘’Kalau untuk komersial, regulasinya belum bisa kita tembus, karena ini yang mengatur Pertamina. Saya bercita-cita suatu saat nanti bio etanol ini bisa dijual di SPBU. Kalau bisa ada satu tangki bahan bakar nabati bio premium etanol nipah percontohan di salah satu SPBU Riau ini, jadilah. Bisa kita bandingkan seluruh SPBU di Eropa dan Amerika yang telah mengedepankan penggunaan substistusi bio etanol hingga mencapai E80. Berarti negara tersebut telah menghemat sebesar 80 persen bahan bakar fosil. Tapi regulasinya belum memungkinkan untuk itu. Di daerah kita umumnya SPBU di Indonesia masih pemakai bahan bakar fosil 100 persen,’’ ujar Sopyan.

Sales Pertamina Pekanbaru, Witdoso, ketika dikonfirmasi menyebutkan, tata niaga BBM seperti bio etanol belum dikenal pihaknya. Berdasarkan UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas (Migas), Pertamina tidak sekuat dulu, yang mengatur segalanya terkait BBM. Tentang bio etanol sendiri belum ada aturan yang mengatur penyalurannya.

‘’Sebaiknya ke BPPT atau LIPI terlebih dahulu untuk diuji kelayakannya. Kami ini hanya bagian dari pemerintah. Jadi apa yang sudah disediakan pemerintah, itu yang kami salurkan. Kalau BBM yang lain, seperti dari bio etanol, sebaiknya lewat pemerintah pusat dulu,’’ ujar Witdoso.

Perlu Produksi Massal
Pakar bio teknologi dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Prof Dr Ir Enny Sudarmonowati ketika dihubungi Riau Pos secara terpisah menyebutkan, produksi bio etanol atau bio fuel secara massal sudah perlu dilakukan terutama oleh pemerintah.

Sejauh ini, ujarnya, sudah banyak yang dilakukan peneliti dan penggiat bio etanol, namun jumlahnya belum massal. Dia mengapresiasi para produsen bio etanol yang terus memproduksi bahan bakar alternatif ramah lingkungan ini, termasuk Sopyan Hadi.

Bio fuel, ujarnya, merupakan bahan bakar masa depan di Indonesia. Bahkan pada tahun 2025, ditargetkan 15 persen dari seluruh bahan bakar yang ada berasal dari bio fuel.

Semuanya berasal dari tanaman dan volumenya akan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Pemerintah bahkan sudah mengeluarkan PP 5/2006, dengan target 1,48 miliar liter bensin berbahan bio fuel mulai tahun 2016 hingga tahun 2025.

‘’Semangat itu sudah ada pada pemerintah. Hanya aplikasinya belum tampak nyata. Dan ini hanya akan bisa terwujud kalau pemerintah memperhatikan dari hulu ke hilir, secara holistik dan integrated,’’ ujar Enny.

Sayangnya, perhatian untuk meningkatkan produksi bio fuel atau bio etanol ini belum begitu memadai. Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2007-2008, misalnya, pernah diwacanakan pembuatan bio fuel massal dengan bahan jarak pagar.

Maka petani pun mulai menanam jarak pagar dalam jumlah besar. Kenyataannya, rencana ini gagal karena pemerintah membeli jarak pagar dengan harga sangat murah dan petani merasa kecewa.

‘’Bahkan tak sedikit yang memusnahkan sendiri jarak pagarnya. Ini kan jadi sia-sia,’’ ujarnya.

Dengan harga BBM yang akan dinaikkan dalam waktu dekat, bahan bakar dari nabati tentu menjadi alternatif yang menjanjikan.

Sejak tahun 2008, ujar Enny, sebenarnya sudah ada beberapa peneliti yang memproduksi BBM nabati ini dalam skala kecil. Di Sukabumi, sudah dihasilkan bio etanol berbahan baku singkong (ubi).

Sebanyak 6,5 Kg singkong dapat diolah menjadi 1 liter bio etanol. Bahkan sudah dijual ke supir angkot dengan harga standar. Hal yang sama dipraktikkan juga di Malang, Jawa Timur dengan bahan baku tebu.

Menurutnya, jika pemerintah belum dapat memproduksi dalam jumlah besar, skala kecil perlu dihidupkan dengan konsep bio village. Pemerintah perlu terus membantu dan menstimulan penggiat bio etanol dengan membantu produksi atau kemudahan lain.

Konsep desa mandiri energi juga perlu terus digiatkan. Bio etanol dari bahan nipah menurutnya termasuk yang terbaik di generasi pertama, sama dengan jarak pagar.

Keunggulannya terletak pada bahan yang melimpah dan tidak mengganggu bahan pangan seperti halnya bio etanol dari singkong, jagung, sorgum, tebu atau sawit.

Sementara itu, Kepala Balitbang Riau, Prof Dr Ir Tengku Dahril MSc menyebutkan, pihaknya mendukung upaya yang dilakukan Sopyan Hadi dengan produksi bio etanol berbahan nipah ini. Bahkan dalam beberapa kali pameran, Balitbang Riau kerap menampilkan produksi bio etanol dari nipah ini.

‘’Kita apresiasi dan terus memfasilitasi untuk pengembangan produksinya lebih lanjut,’’ ujar Tengku Dahril.***

Sumber : http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=10230&kat=3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar